Suasana di SMU St. Carolus - Bengkulu hari ini tidak seperti biasanya. Pada jam belajar terlihat anak-anak kelas III IPA berpestapora. Karena ada dua jam pelajaran kosong. Pelajaran matematika, guru pengajarnya tidak hadir. Mereka ada yang nongkrong di kantin sekolah, ngegosip, ada juga yang asyik berseliweran di selasar kelas yang sepi. Tentu saja sambil ngintip-ngintip dan meledek anak-anak lain yang sedang belajar. Tapi itu mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. Soalnya bila diketahui oleh kepala sekolah atau salah satu guru saja, mereka harus rela melepaskan jam kosongnya.
“Rahmat ! Gimana tuh kelincimu ? Katanya sakit ?” Teriak Nisa
“Sudah sehat tuh ! Kamu naksir, ya ? Cepetan aja deh ! Nanti keduluan kucing tetanggaku, lho !” selorohku.
“Enak aja kau ngomong ! Gini, Mat. Kalau kau rela, si Sayidi anak kelas II B mau pinjam piaraanmu itu untuk penelitian.”
“Hah ! Itu sih bukan dipinjam lagi. Tapi pembunuhan yang sangat direncanakan !”
“Hey, Susi !! Kembalikan buku itu !” Tiba-tiba Biyan berteriak.
“Sebentar dong, Bi ! Aku cuma mau meresensi puisi-puisimu, koq”
“Sus cepat dong ! Ngapain sih buka-buka rahasia orang ?!”
“Indahnya cita putih ……….” Susi mulai beraksi dengan gayanya. “Bagaikan bunga Kamboja yang tumbuh di kuburan bibiku…..hih ! Koq, seram amat sih, Bi ?!” Susi bergidik.
“Makanya…kembalikan !”
“Pengumuman…! Pengumuman…!”
Sunaryo mulai berkoar di depan kelas. Semua yang ada di dalam pada pasang kuping kanan kiri dengan sigap.
“Berhubung kita sekarang ini berstatus penganggur, bagaimana kalau kita merayakan ulang tahun Andri yang dua bulan lagi genap delapan belas tahun !”
Anak-anak bersorak tanda setuju dan segera merubung Andri yang gelagapan dan shock berat. Tetapi mendadak suasana menjadi sepi dan kaku, karena secara tiba-tiba Pak Jemi muncul dengan garangnya.
“Kenapa diam !” tantang Pak Jemi dengan mata melotot. “Begitukah tingkah para calon mahasiswa ? Seperti tak punya perasaan dan sopan santun saja ! Kalian ini orang terpelajar, tahu nggak ! Seharusnya peka dengan keadaan sekitarnya. Coba lihat ! Sebelah kelas kalian sekarang sedang ulangan ! Apakah kalian tidak kasihan ?!” Pak Jemi menatap seisi kelas satu demi satu.
“Jam pelajaran siapa sekarang ?”
“Pak Yuliarso, pak !” aku memberanikan diri untuk menjawab.
“Cepat lapor guru piket dan minta tugas !”
Pak Jemi langsung kembali menuju kelas sebelah dengan muka merah padam. Dan dapat ditebak, anak-anak mulai saling menyalahkan dan merasa paling benar sendiri.
“Rahmat !”, ada yang berteriak memanggilku saat bubaran sekolah. Ternyata Novi tetanggaku anak kelas I A.
“Mat, pulang sama-sama ya ?”
“Lho ! Mas Yoyok nggak jemput ?”
“Nggak ! Dia kuliah”
“Oke lah ! Tapi ikut muter-muter nggak apa-apa kan ?”
“Kemana ?”
“Biasa…..ngurus bisnis”
“Iya deh…! Tapi kalau aku dimarahin ibu, kamu yang tanggung jawab lho !”
“Gampang ! Pokoknya aku kan nggak menculik kamu !”
“Ye ! Siapa tahu kamu bersekongkol dengan penculik liar”
“Salah kamu sendiri. Kenapa mau ikut ?”
“Curang kamu !” Novi mencubitku dengan gemasnya. Aku menjerit-jerit kesakitan.
“Mat…..! Aku semalam didatangi pemuda namanya Jumali” Novi membuka pembicaraan saat kami beristirahat membeli es campur di tempat Uni Yanti.
“Terus…kenapa ?”
“Orangnya sih cakep and ganteng lagi. Dia kukenal waktu ada Festival Tabot 2001 yang lalu”.
“Kamu suka ?”, aku memancing. Novi meratapku aneh dan menggelengkan kepalanya.
“Kenapa ? Koq aneh ?”, tanyaku. “Dia kan ganteng !”
“Nggak, Mat ! Bukan itu yang kucari……”
“Lalu apa maksudmu cerita ke aku ?”
“Aku……aku, eh nggak usah saja. Aku nggak berani mengatakannya”
“Kamu ingin minta pendapatku tentang itu ?” Novi menggeleng menggelengkan kepalanya. Aku jadi curiga dengan perubahan sikapnya. Ada apa ini !
“Kamu sudah punya pacar, Mat !” Tiba-tiba kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Novi.
“Memangnya kenapa ?”
“Boleh kan, aku tanya itu ?”
“Kalau nggak boleh, bagaimana ?”
Novi sedikit kecewa. Mukanya merah padam menahan malu.
“Oke deh ! Koq, jadi serius begini sih !”, aku tersenyum, kemudian menyeruput es campur-ku sebentar.
“Begini, Novi ! Aku memang punya teman yang sangat dekat. Bolehlah dikatakan pacar. Karena aku memang membutuhkannya dan dia juga membutuhkanku. Tapi dia sekarang tidak ada di sini. Dia sedang berada di Jakarta, besok mungkin sudah kembali.
“Siapa dia, Mat !” Ada nada kecewa dalam suara Novi.
“Ita ! Kenapa ?”, tanyaku penuh curiga.
“Nggak apa-apa” Novi menunduk. Aku menjadi tahu apa yang dia rasakan sebenarnya. Tetapi aku diam saja, tak ada baiknya itu dikatakan.
“Yuk ! Kita pulang !”, ajakku.
“Rahmat ! Gimana tuh kelincimu ? Katanya sakit ?” Teriak Nisa
“Sudah sehat tuh ! Kamu naksir, ya ? Cepetan aja deh ! Nanti keduluan kucing tetanggaku, lho !” selorohku.
“Enak aja kau ngomong ! Gini, Mat. Kalau kau rela, si Sayidi anak kelas II B mau pinjam piaraanmu itu untuk penelitian.”
“Hah ! Itu sih bukan dipinjam lagi. Tapi pembunuhan yang sangat direncanakan !”
“Hey, Susi !! Kembalikan buku itu !” Tiba-tiba Biyan berteriak.
“Sebentar dong, Bi ! Aku cuma mau meresensi puisi-puisimu, koq”
“Sus cepat dong ! Ngapain sih buka-buka rahasia orang ?!”
“Indahnya cita putih ……….” Susi mulai beraksi dengan gayanya. “Bagaikan bunga Kamboja yang tumbuh di kuburan bibiku…..hih ! Koq, seram amat sih, Bi ?!” Susi bergidik.
“Makanya…kembalikan !”
“Pengumuman…! Pengumuman…!”
Sunaryo mulai berkoar di depan kelas. Semua yang ada di dalam pada pasang kuping kanan kiri dengan sigap.
“Berhubung kita sekarang ini berstatus penganggur, bagaimana kalau kita merayakan ulang tahun Andri yang dua bulan lagi genap delapan belas tahun !”
Anak-anak bersorak tanda setuju dan segera merubung Andri yang gelagapan dan shock berat. Tetapi mendadak suasana menjadi sepi dan kaku, karena secara tiba-tiba Pak Jemi muncul dengan garangnya.
“Kenapa diam !” tantang Pak Jemi dengan mata melotot. “Begitukah tingkah para calon mahasiswa ? Seperti tak punya perasaan dan sopan santun saja ! Kalian ini orang terpelajar, tahu nggak ! Seharusnya peka dengan keadaan sekitarnya. Coba lihat ! Sebelah kelas kalian sekarang sedang ulangan ! Apakah kalian tidak kasihan ?!” Pak Jemi menatap seisi kelas satu demi satu.
“Jam pelajaran siapa sekarang ?”
“Pak Yuliarso, pak !” aku memberanikan diri untuk menjawab.
“Cepat lapor guru piket dan minta tugas !”
Pak Jemi langsung kembali menuju kelas sebelah dengan muka merah padam. Dan dapat ditebak, anak-anak mulai saling menyalahkan dan merasa paling benar sendiri.
“Rahmat !”, ada yang berteriak memanggilku saat bubaran sekolah. Ternyata Novi tetanggaku anak kelas I A.
“Mat, pulang sama-sama ya ?”
“Lho ! Mas Yoyok nggak jemput ?”
“Nggak ! Dia kuliah”
“Oke lah ! Tapi ikut muter-muter nggak apa-apa kan ?”
“Kemana ?”
“Biasa…..ngurus bisnis”
“Iya deh…! Tapi kalau aku dimarahin ibu, kamu yang tanggung jawab lho !”
“Gampang ! Pokoknya aku kan nggak menculik kamu !”
“Ye ! Siapa tahu kamu bersekongkol dengan penculik liar”
“Salah kamu sendiri. Kenapa mau ikut ?”
“Curang kamu !” Novi mencubitku dengan gemasnya. Aku menjerit-jerit kesakitan.
“Mat…..! Aku semalam didatangi pemuda namanya Jumali” Novi membuka pembicaraan saat kami beristirahat membeli es campur di tempat Uni Yanti.
“Terus…kenapa ?”
“Orangnya sih cakep and ganteng lagi. Dia kukenal waktu ada Festival Tabot 2001 yang lalu”.
“Kamu suka ?”, aku memancing. Novi meratapku aneh dan menggelengkan kepalanya.
“Kenapa ? Koq aneh ?”, tanyaku. “Dia kan ganteng !”
“Nggak, Mat ! Bukan itu yang kucari……”
“Lalu apa maksudmu cerita ke aku ?”
“Aku……aku, eh nggak usah saja. Aku nggak berani mengatakannya”
“Kamu ingin minta pendapatku tentang itu ?” Novi menggeleng menggelengkan kepalanya. Aku jadi curiga dengan perubahan sikapnya. Ada apa ini !
“Kamu sudah punya pacar, Mat !” Tiba-tiba kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Novi.
“Memangnya kenapa ?”
“Boleh kan, aku tanya itu ?”
“Kalau nggak boleh, bagaimana ?”
Novi sedikit kecewa. Mukanya merah padam menahan malu.
“Oke deh ! Koq, jadi serius begini sih !”, aku tersenyum, kemudian menyeruput es campur-ku sebentar.
“Begini, Novi ! Aku memang punya teman yang sangat dekat. Bolehlah dikatakan pacar. Karena aku memang membutuhkannya dan dia juga membutuhkanku. Tapi dia sekarang tidak ada di sini. Dia sedang berada di Jakarta, besok mungkin sudah kembali.
“Siapa dia, Mat !” Ada nada kecewa dalam suara Novi.
“Ita ! Kenapa ?”, tanyaku penuh curiga.
“Nggak apa-apa” Novi menunduk. Aku menjadi tahu apa yang dia rasakan sebenarnya. Tetapi aku diam saja, tak ada baiknya itu dikatakan.
“Yuk ! Kita pulang !”, ajakku.
**********
Sudah menjadi kebiasaanku, pagi-pagi aku selalu mampir dulu ke kantin sekolah Ibu Kardiono, sebelum masuk kelas. Sekedar sarapan saja. Habisnya nggak ada seninya kalau sarapan di rumah. Paling-paling nasi goreng lagi yang disediakan.
Di meja sebelahku ada Indah yang memandangi aku terus. Anak kelas II C ini sejak nongol di sekolah ini selalu ada perhatian ke aku. Ge-eR ! Tapi nyatanya juga begitu. Dan aku selalu tetap bersikap biasa-biasa saja padanya. Tapi risih juga kalau dilihatin terus.
“Koq, sendiri saja, Indah ?”, tanyaku sambil menenteng gelas dan piring penuh nasi santan plus empal.
“Iya nih nggak ada yang nemenin”. Dia tersenyum manis sekali.
“Beruntung ya, aku bisa nemenin”. Lagi-lagi Indah tersipu.
“Koq, GR sih ?”
“Nggak GR koq, cuma bangga !”, aku ngikik.
“O iya, kamu nanti mau masuk jurusan apa ?”
“Kalau bisa sih, IPA dong !”
“Wah ! Koq ngikut jejakku ?”
“Iya ! Biar kompak selalu sama Mas Rahmat”, Indah tersenyum malu.
“Ye…! Sebentar lagi kan aku sudah mau lulus”
“O iya, lupa !”, ganti Indah yang ngikik. Jelek amat dia kalau begitu.
Kemudian kami saling diam. Indah menyeruput teh hangatnya. Aku makan nasiku yang masih munjung dengan cueknya. Tak peduli tatapan Indah yang tanpa berkedip.
“Mas Rahmat koq sombong sih sekarang ?”. Tiba-tiba suara Indah mengganggu kenikmatanku.
“Sombong apaan sih ?”, sahutku setelah menelan satu sendok terakhirku.
“Kemarin sore, Indah panggil-panggil, Mas diam saja”
“Dimana ?”
“Di Simpang Sekip !”
“O…itu, koq aku nggak dengar kamu panggil-panggil tuh !”
“Benar-benar nggak dengar, apa pura-pura nggak dengar ?!”, Indah meledek.
“Benar koq, Indah ! Sorry deh ya”
“Itu yang kamu bonceng siapa sih ?”, tanya Indah ingin tahu.
“O…itu, adikku. Rahmasari namanya”
Raut muka Indah kelihatan lega.
“Koq setia banget sih sama adiknya ?”
“Iya dong ! Adik satu-satunya kan perlu disayang”
“Enak ya punya kakak Mas Rahmat. Setia banget”
“Memangnya kakakmu bagaimana ?”
“Indah nggak punya kakak, Mas !”
“Adik ?”
“Nggak juga”
“Jadi anak tunggal, ya ?”
“Iya”
“Kalau begitu, dimanja dong ! Apa-apa pasti dituruti ?”
“Nggak enak juga, Mas. Sepi !”
Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Anak-anak pasti dibuat keki berat dengan bunyi bel yang sok disiplin itu.
“Masuk, yuk !”, aku berdiri.
“Eh, sebentar dulu, Mas. Indah mau ngomong sedikit”. Indah ikut berdiri. “Begini ! Mas Rahmat nggak marah kan kalau Indah mengatakan sesuatu ?”
“Sebatas itu masih bisa kuterima, aku nggak akan marah”
“Benar ?!”
“Swerr”
“Sebenarnya…sebenarnya Indah…Indah suka sama Mas Rahmat”. Indah langsung kabur menuju kelasnya setelah mengatakan itu. Aku melonggo.
Pusing-pusing !!! Betul-betul aku nggak bisa konsentrasi dengan pelajaran pagi ini. Omongan Indah tadi ternyata sangat mengganggu pikiranku. Sebenarnya sudah jauh-jauh hari aku mengetahui hal itu dari teman-teman Indah sendiri. Tetapi setelah itu terjawab pasti, justru aku menjadi tak percaya diriku sendiri. Apakah aku masih bisa mempertahankan kesetiaanku ?
“Mat ! Ada surat nih ! Dari Novi”. Lisa menyerahkan lipatan kertas kepadaku.
“Terima kasih ya !”, jawabku. “Eh, Lisa ! Kamu mau tolongin aku nggak ?”
“Ngapain ?”
“Tolong kasih tahu Suryana, nanti sore aku nggak bisa ikut rapat. Karena ada keperluan penting, begitu”
“Oke Boss ! Tapi ada bonusnya kan ?”
“Beres !!”
Lisa segera keluar dari kelasku. Di dalam kelas sekarang cuma ada beberapa gelintir siswa saja. Memang kalau pas istirahat pertama begini, anak-anak lebih senang keluar kelas. Kubuka surat Novi dengan malas, isinya sudah dapat diduga. Tapi tetap penasaran juga hati ini.
Bengkulu, 12 Mei 2001
Rahmat ! Sebenarnya kemarin aku ingin terus terang sama kamu. Tapi aku malu. Dihadapanmu rasanya aku koq rendah banget. Tapi aku harus ngomong Mat ! Untuk mengeluarkan uneg-uneg ini.
Sudah lama sebenarnya perasaan ini kupendam. Aku mencintai kamu Mat ! Namun sekarang aku tak bisa berharap, kamu jangan memandang sinis padaku ya ? Anggap saja semua ini tidak pernah terjadi. Nggak usah dipikirkan kata-kataku dalam surat ini. Aku akan tetap menjaga perasaan kamu, juga perasaan Ita.
Terima kasih ya !
Novi / I A
Kulipat lagi kertas itu dan aku keluar menuju kelas II C.
“Indah ada ?”, tanyaku kepada cewek yang berada dekat pintu kelas.
“Tadi ada di perputakaan ! Cari saja disana !”
Tak banyak basa-basi aku langsung menuju Perpustakaan. Dan ternyata Irma memang ada disitu.
“Indah ! Keluar sebentar yuk !”. Indah kaget setengah mati dan menuruti ajakanku. Di tempat yang tidak begitu ramai, aku mulai membuka percakapan.
“Indah ! Tentang omonganmu tadi pagi membuatku kaget. Suprise banget ! Dan sempat membuatku ragu dalam mengambil keputusan. Aku memang tertarik padamu, Indah ! Tapi aku tak bisa menerimamu, karena aku sudah punya pacar”.
“Siapa ?” Indah menatapku berkaca-kaca.
“Ita ! Anak II D, kamu nggak tahu itu ?” Indah menggeleng. “Sekarang dia memang lagi nggak ada disini. Sudah sebulan yang lalu berada di Jakarta. Dan siang ini mungkin sudah kembali ke sini”.
Suasana menjadi kaku. Sama sekali tidak enak.
“Maafkan Indah, Mas ! Indah telah lancang !”
“Nggak apa-apa, Indah. Aku juga minta maaf. Aku maklum. Adakalanya kejujuran memang perlu. Walau kadang mendatangkan kekecewaan. Aku masih menghargaimu, Indah !”
“Terima kasih, Mas !”, suara Indah bergetar.
Lagi-lagi bel berbunyi tiga kali. Anak-anak tak dapat berbuat lain kecuali masuk kelasnya masing-masing.
“Indah masuk dulu ya, Mas !”
“Ya !” Aku tersenyum, juga Indah. Namun sinar kekecewaan masih tertangkap jelas dari bola matanya.
**********
Setelah bubaran sekolah aku langsung menuju ke rumah Ita. Disana aku telah ditunggu oleh Bang Wasta, kakak sepupunya Ita. Untuk menjemput Ita di bandara Padang Kemiling. Bersamaan dengan tibanya kami di bandara, pesawat dari Jakartapun telah mendarat dengan selamat. Aku langsung menuju ke ruang ‘Kedatangan’ di gedung bandara yang kebetulan saat itu sedang dalam pelaksanaan renovasi dan rehabilitasi. Oleh karena itu keadaannya terlihat sangat darurat. Dan konon menurut Pemerintah Daerah setempat, nama bandara Padang Kemiling ini nantinya akan diganti menjadi bandara Fatmawati. Sehingga aku pikir renovasi bangunan gedung tersebut, selain dalam rangka untuk pengembangan bandara guna meningkatkan pelayanannya, mungkin juga sekaligus untuk peresmian nama barunya itu. Mudah-mudahan dapat terlaksana.
Ketika aku sudah masuk ke dalam ruang tunggu, tak lama kemudian kulihat para penumpang mulai keluar menuruni tangga. Ita telah melambaikan tangan duluan ketika dia nongol dari badan pesawat.
“Brengsek kamu ! Aku sudah melambai-lambai dengan manisnya, kamu tetap bengong saja !”, omel Ita ketika dia telah berada di depan mataku.
“Sorry, non ! Habisnya kamu kelihatan kecil banget sih, dibanding dengan penumpang yang lainnya”
“Hu….! Dasar !”, Ita mencoba menjewer telingaku, tapi dapat kuhindari.
“Lho ! Ayah Ibumu mana ?”, tanyaku penasaran.
“Masih di sana. Ada keperluan yang lebih penting lagi”
“Untung kamu cepat pulang !”
“Memangnya kenapa ?”
“Aku nggak betah lama-lama nungguin kamu ! Banyak godaan !!”
“Tuh…kan ! Genitnya nggak hilang juga !”
“Lho ! Pokoknya aku tetap sama kamu !”
“Iya deh…!”, Ita mencibir.
“Eh, tuh Bang Wasta sudah nungguin dari tadi !”
Kami berlari-lari menuju mobil Kijang Super, sambil sesekali bercanda melepas rindu.
Siang ini kelihatan begitu cerah. Secerah wajahku menyambut Ita. Memang hanya perasaan yang dapat mewujudkan langkahku dengan pasti, bahwa aku benar-benar mencintai Ita.
Edy Nawir -
( Cerita pendek ini kupersembahkan khusus kepada YPKB - Bengkulu dan SMU St. Carolus Bengkulu )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar