…….Ketika mentari di atas ubun-ubun
debu bertebaran di tiup bayu
dua ekor burung gereja berkejar-kejaran
mengusik resah di siang hening.
debu bertebaran di tiup bayu
dua ekor burung gereja berkejar-kejaran
mengusik resah di siang hening.
……Seorang gadis berpakaian putih abu-abu
duduk sendiri di teras sekolah
kedua tangannya memegang sebuah buku
membuang-buang waktu……
duduk sendiri di teras sekolah
kedua tangannya memegang sebuah buku
membuang-buang waktu……
Sambil menunggu Hendra, aku menyusuri teras sekolah yang membujur sepanjang kelas. Hari itu aku tidak langsung pulang kerumah. Walaupun pada pelajaran kelima, murid kelas III BG2 sudah keluar semua.
Ketika di depan kantor tata-usaha, kulihat Evi duduk sendiri di ruang tamu sekolah, asyik dengan buku ceritanya. Perlahan-lahan ku hampiri dia. Tapi tiba-tiba saja jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Hatiku berdebar manakala langkahku semakian dekat. Ada sesuatu yang tidak kumengerti, mengapa tiba-tiba jadi begini. Ah, entahlah!
“Aduh, asyik bener nih ?”
“Hai! Bikin kaget saja kau”, Evi tersenyum mengurut dada.
“Koq belum pulang, nunggu jemputan ya?”, tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
“Ya. Kau ngapain?”, dia berbalik bertanya.
“Aku nungguin Hendra nih!”.
“Ada urusan penting ya! Koq tumben sampai ditunggu segala”.
“Ah, nggak begitu penting, dari pada nganggur. Eh, buku apaan tuh?”
“A dream from the night”.
“Wah hebat! Aku menggumi pengagum B. Cartland”.
“Hmmmm….”Evi Cuma tersenyum manis.
Sejenak suasana hening. Persis kaya setan lewat kata orang-orang. Sementara hatiku deg-degan (dag-dig-dug). Entahlah!
“Hari ini panas sekali ya?” kataku memecah kesunyian.
“Iya nih, gerahnya bukan main” Evi mengiya setuju.
“Bagaimana kalau kita minum es cendol?”
“O…. ide yang bagus. Yuk…!” Evi tersenyum.
Kami berdua berjalan menuju cafeteria di belakang sekolah. Terus terang hatiku masih saja berdebar tak keruan. Di sana kelihatan sepi, tak ada pengunjung yang lain. Aku mengambil tempat berhadapan dengannya.
“O, iya kapan sih Kejuaraan Basket Jakarta Timur itu?”
“Mungkin dua minggu lagi. Ini baru mau di urus sama Hendra. Evi ikut ya!”
“Nggak ah, Evi nonton aja deh” katanya sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa.
Sebenarnya aku sudah tahu kalau Evi termasuk team inti sekolah kami. Barangkali dia juga sudah tahu kalau aku sudah mengerti, sehingga ia menjawab pertanyaanku dengan seloroh. Gila juga nih cewek!
Pesanan kami datang, lalu kami minum bersama melenyapkan dahaga karena panasnya hari itu.
“Eh, aku kemarin baca puisimu di majalah HAI yang baru”
“O, iya”
“Bagus deh! Sering buat puisi ya?” tanyanya sambil tersenyum. Oh senyumnya manis sekali. Aku senang sekali jika ia tersenyum seperti itu.
“Tidak selalu sering” kataku sedikit bangga.
“Tapi kata Joko kau sering nulis puisi di majalah-majalah”.
“Ah, nggak juga.Ngaco tuh si Joko. Lalu kau percaya?” tanyaku pura-pura.
“Iya! Tapi bener kan?”
“Hmmmm..., kalau bener, lantas kenapa?” akhirnya aku mengalah.
“Gimana sih caranya bikin puisi? Ajarin Evi dong?” tanyanya serius. Aku tertawa.
“Gampang koq, nggak diajarin juga bisa”
“Untuk sukses mesti diajarin dulu sama yang udah bisa. Nanti sesudahnya dikasih tahu, baru deh kerja keras sendiri!” bantahya
“Oke, sebenarnya mudah sekali” kataku merasa kalah. Si cantik ini memang cerdik.
“Mudah bagaimana? Kasih tahu dong!” rengeknya.
“Lho, koq jadi manja sih!” godaku setelah kulihat lagaknya seperti anak kecil saja.
“Aaaaa!” Evi mencubit lenganku. Aku meringis.
“Eeee….ee, aduh …..ampun deh lepasin dong! Sampai biru begini deh!”
“Ayo dong, ntar cubit lagi nih!” katanya sambil menggerakkan tangannya mau cubit lagi.
“E.... iya… iya begini, ya. Pokok utama Evi mesti pilih mau nulis apa. Mau nulis tentang anjing kesayanganmu atau mau nulis bunga keq. Nulis pohon, rumah, bintang dan nulis apa saja deh! Tapi yang sedang dalam pikiran Evi pada saat Evi mau menulisnya” kataku sambil meminum cendolku.
“Lalu?” Evi tak sabar.
“Kalau udah pasti apa yang mau ditulis, maka dengan satu kata….”
“Kasih contoh dong!” potongnya.
“Diam dulu, koq nggak sabaran sih?” aku pura-pura marah.
“Maaf deh pak guru” Evi tersenyum lebar. Mau nggak mau aku tersenyum juga. Gombal!
“Sebentar ya, aku buat dulu sedikit untuk contoh soal” kataku sembari mengambil kertas dan pulpen ditasku. Setelah itu baru aku menulis ;
……Siang hari di cafeteria
sepasang remaja sedang berbincang-bincang
tentang cinta…..
dengan segelas es cendol ditangan
sang pemuda bilang: -aku cinta padamu-
Sang gadis menunduk
mempermainkankan gelas minumannya
dengan wajah yang merah dadu
ia berbisik: -aku juga-……………..
mempermainkankan gelas minumannya
dengan wajah yang merah dadu
ia berbisik: -aku juga-……………..
“Nah ini contohnya baca deh!” kataku menyodorkan kertas itu tadi.
Belum sempat aku mengambil napas, Evi sudah menyemprot.
“Aa…..ngaco!” dan sebuah cubitan lagi mendarat dilenganku.
“Lho,kan sekedar contoh. Dibuang juga nggak apa-apa. Atau Evi merasa hal itu benar-benar terjadi?” Muka Evi jadi merah seketika. Tapi cuma sebentar.
“Aaaa….!Ngaco! Ngacoooooo!” Evi memulai lagi serangannya bertubi-tubi. Aku kewalahan.
Namun bercanda itupun berakhir. Kemudian setelah kumembayar es pesanan kami tadi, kami jalan kedepan kembali. Ketika di samping sekolah Evi bilang:
“Nanti mau nggak buatin puisi untuk Evi?”
“Biasanya kalau cewek minta di buatin puisi sama cowok, itu ada maunya sama sicowok” kulirik reaksi Evi, tapi sialnya keburu kepergok. Aku tertawa.
“Ngaco lagi deh!” katanya cemberut.
“Habis muka Evi merah sih!” aku menggoda lagi.
“Aaaaa! Jangan konyol ah!” kembali dia menyerangku.
“Ah, kalau gitu Evi nggak cinta lagi ya?”
“Emangnya kapan Evi bilang cinta. Hmmm, enak aja” Evi mencibirkan bibirnya.
“Kan, tadi….” wajahnya tambah merah, belum selesai aku melanjutkannya, Evi sudah mengayunkan tangannya ke arahku. Aku mengelak. Kelihatannya dia betul-betul jengkel rupanya.
“Jangan marah nona manis. Aku kan cuma bercanda” aku menangkap lengannya.
“Habis kamu jahat sih”
“Iya deh. Aku sayang sama Evi” kembali aku menggoda. Evi diam saja. Seperti orang bisu.
Akhirnya kami sampai di ruang tamu sekolah lagi. Evi duduk di tempat semula. Akupun juga. Kami berdua sama-sama membisu.
“Evi marah ya?” tanyaku coba-coba, tapi Evi tidak menjawab. Dia menatapku sebentar. Tatapan yang sukar diterka artinya. Lalu ia menghela nafas.
“Kalau marah, aku minta maaf deh!” kataku memohon dengan hormat. Tapi kulihat Evi tetap acuh tak acuh. Setelah agak lama, baru ia menoleh dan menatapku.
“Lupakan saja” katanya ketus. Aku menelan ludah. Sombongnya!
“Evi nggak marah kan?” kataku lagi.
“Nggak” dia menggelengkan kepalanya.
“Bener…..”
“Bener, nggak bohong koq!” katanya serius, seolah-olah mengumumkan perang. Tiba-tiba dia tersenyum. Aku merasa lega. Siasatku berhasil.
“Hei, koq ngelamun?” tanyanya mengejek masih dengan senyum. Aku menelan ludah. Dan ikut tersenyum.
“O, iya kalau Evi benar-benar pingin puisi-puisiku, ini baru ada segini. Terimalah. Memang sudah dari dulu aku buat, khusus untuk Evi” kuserahkan 4 lembar kertas ukuran folio. Kertas itu sudah lama menginap di tasku, menanti kesempatan baik.
“Aku tahu kalau Evi itu suka koleksi puisi-puisi” Evi menatapku dengan pandangan ngerti dan tidak. Tapi akhirnya dia bilang :
“Terima kasih temanku yang baik. Kau terlalu baik amat sih?” tanyanya lagi sambil membuka kertas puisiku tadi.
“Aku selalu ingat kau Vi” Evi menatapku lagi. Kali ini kulihat jelas matanya bersinar kebahagiaan. Lalu tersenyum lagi. Sudah jelas dan pasti buatku seorang.
“O, iya besok akan kukirim yang lebih bagus lagi ke rumahmu. Boleh kan?”
“Boleh! Evi seneng deh kalau kau main ke rumahku tapi jangan dihina ya! Dan sebelumnya terima kasih lho!” katanya sambil melipat kertas puisi itu tadi dan memasukkannya kedalam tas yang dipegangnya.
Disini aku sempat menangkap perubahan wajahnya yang cantik itu. Mungkin setelah membaca puisi-puisiku ia mulai merasakannya. Lalu lama kami saling membisu. Sampai akhirnya tak terasa bel tanda bubar di sekolah kami berbunyi dan bersamaan dengan itu sebuah Corola warna merah jingga berhenti di halaman depan. Evi bangkit.
“Yuk pulang, kamu ikut?”
“Nanti deh lain waktu saja, aku kan mau urus basket ini dulu”
“Oke deh! Evi duluan ya, nanti datang lho! Jangan sampai nggak” aku mengangguk. Evi tersenyum manis sekali, sambil menuju ke mobil. Di dalam mobil ia melambaikan tangannya. Akupun membalasnya.
“Daaagg…..daaag”
“Daaaagg…..daaaag!!!”
Akhirnya deru mobil itupun meninggalkan halaman sekolah. Hanya terlihat debu berterbangan ditiup angin. Aku merasa bahagia sekali pada hari itu walaupun panasnya bukan main. Setelah kutemui Hendra, aku pergi bersamanya meninggalkan sekolah dan juga meninggalkan kenangan yang indah itu.
...........Selamat tinggal kenangan
kau muncul sekejap
membuat kuingat setiap saat
yang kini hasilnya menghasilkan kebahagiaan
kebahagian yang tak ternilai harganya
Aku katakan
bahwa kali ini aku merasa
benar-benar bahagia……..…
bahagia sekali……………………
bahwa kali ini aku merasa
benar-benar bahagia……..…
bahagia sekali……………………
Cerita Pendek karya : Edy Nawir
Cerpen-cerpen lainnya :
___________________________________________________
DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar