Pusing! Pusing! Sudah dua hari ini, Yanti bikin penasaran. Kemarin siang waktu kujemput sekolah, wajahnya sudah distel macam Dewi Jepang lagi ngambek. Suram, nggak ada senyum sedikitpun! Semua pertanyaanku cuma dijawab dengan isyarat atau cuma dengan kata sepatah. Gombal!
************
Dan tadi siang waktu kujemput lagi, penasaran itupuin masih nongkrong juga dibenakku, malah makin seru. Aku jadi betul-betul bingung. Soalnya nggak merasa bikin dosa sih. Apalagi setelah melihat mama di rumah rasanya jadi tambah bingung sendiri. Bilang, jangan! Bilang, jangan! Mau bilang, tapi rasanya lidah jadi kelu. Waduh, gimana nih caranya buat ngomong?
Aku nggak mau kalau mama jadi sedih. Dan aku paling takut kalau mama sedih. Soalnya bisa-bisa mama jadi sakit. Apalagi mama punya penyakit jantung. Wah ini bisa berabe. Gimana aku nggak bingung terus? Bayangin aja!
Aku nggak mau kalau mama jadi sedih. Dan aku paling takut kalau mama sedih. Soalnya bisa-bisa mama jadi sakit. Apalagi mama punya penyakit jantung. Wah ini bisa berabe. Gimana aku nggak bingung terus? Bayangin aja!
************
Hari Rabu yang lalu, aku pergi sama Yanti ke Duta Merlin.
“Eh, bukankah itu papamu?” Yanti menyentuh lenganku. Ya, memang aku melihat papa keluar dari tempat parker sambil menggandeng mesra seorang cewek bertubuh semampai dengan rambut terurai sampai bahu. Mana cantik lagi. Gila!
“Siapa dia?” tanya Yanti lagi.
“Ooh, itu…… saudara sepupuku.”
Padahal aku juga lagi bingung mikir, siapa cewek yang digandeng papa itu. Sebab setahuku nggak ada saudara sepupuku yang punya model kayak begitu.
“Yuk, …..kita kesana,” Yanti menarik tanganku
“Lho, ngapain?”
“Aku mau kenal dengan sepupumu itu.”
“Ala, nggak usah ah! Kapan-kapan aja deh.”
“Aah, ayo dong sekarang aja,” Yanti mendesak.
“Jangan ah, kan jadi nggak enak nanti.”
“Kenapa jadi nggak enak? Itu kan papamu sendiri”
“Nggak ah, nanti aja. Besok kan bisa! Kalau sekarang nanti filmnya keburu main,” aku masih bertahan mencari alasan.
“Sebentar aja deh!”
“Nggak mau aha, yuk kita nonton!” aku tetap bertahan.
“Kau ini kenapa sih. Tumben-tumbenan. Biasanya aku minta apa aja, kau turuti. Sekarang mau ketemu papamu aja nggak mau. Kalau begini aku nggak jadi nonton ah. Aku mau ngambek aja deh.”
“Eh, eh…..kenapa jadi begitu. Kayak anak kecil aja. Ini kan di jalan, malu dong sama orang-orang.”
Dan celakanya. Yanti benar-benar ngambek, bagaimana aku nggak pusing melihat dia kecewa.
“Oke deh, yuk kita kesana.”
“Nggak usah!”
“Tadi kan ngajakin?”
“Nggak. Aku udah ngerti sekarang!”
“Ngerti?”
“Ya…..!”
Lalu ngambeknya itu masih berlangsung sampai sekarang. Ditambah lagi, aku kalau lihat papa, uh…..rasanya keqi separuh mampus!
“Eh, bukankah itu papamu?” Yanti menyentuh lenganku. Ya, memang aku melihat papa keluar dari tempat parker sambil menggandeng mesra seorang cewek bertubuh semampai dengan rambut terurai sampai bahu. Mana cantik lagi. Gila!
“Siapa dia?” tanya Yanti lagi.
“Ooh, itu…… saudara sepupuku.”
Padahal aku juga lagi bingung mikir, siapa cewek yang digandeng papa itu. Sebab setahuku nggak ada saudara sepupuku yang punya model kayak begitu.
“Yuk, …..kita kesana,” Yanti menarik tanganku
“Lho, ngapain?”
“Aku mau kenal dengan sepupumu itu.”
“Ala, nggak usah ah! Kapan-kapan aja deh.”
“Aah, ayo dong sekarang aja,” Yanti mendesak.
“Jangan ah, kan jadi nggak enak nanti.”
“Kenapa jadi nggak enak? Itu kan papamu sendiri”
“Nggak ah, nanti aja. Besok kan bisa! Kalau sekarang nanti filmnya keburu main,” aku masih bertahan mencari alasan.
“Sebentar aja deh!”
“Nggak mau aha, yuk kita nonton!” aku tetap bertahan.
“Kau ini kenapa sih. Tumben-tumbenan. Biasanya aku minta apa aja, kau turuti. Sekarang mau ketemu papamu aja nggak mau. Kalau begini aku nggak jadi nonton ah. Aku mau ngambek aja deh.”
“Eh, eh…..kenapa jadi begitu. Kayak anak kecil aja. Ini kan di jalan, malu dong sama orang-orang.”
Dan celakanya. Yanti benar-benar ngambek, bagaimana aku nggak pusing melihat dia kecewa.
“Oke deh, yuk kita kesana.”
“Nggak usah!”
“Tadi kan ngajakin?”
“Nggak. Aku udah ngerti sekarang!”
“Ngerti?”
“Ya…..!”
Lalu ngambeknya itu masih berlangsung sampai sekarang. Ditambah lagi, aku kalau lihat papa, uh…..rasanya keqi separuh mampus!
************
Hari sudah hampir jam lima sore. Untung nggak ada pekerjaan apa-apa. Aku harus bicara sama Yanti. Nggak bisa begini terus menerus. Harus cepat-cepat diselesaikan. Kalau nggak aku bisa bengong dimalam minggu nanti. Selesai mandi dan rapi-rapi, kukebut motor ke rumahnya. Diteras samping Yanti lagi baca A Dream from the night nya Barbara Cartland
“Yanti……….”
“Oh?”
Ya ampun……. Itu tampang masih juga macam Dewi Jepang lagi ngambek.
“Aku mau ngomong sama kamu, boleh kan?”
“Hmmm…..”
“Kenapa sih, kamu koq beberapa hari ini jadi dingin, tak acuh sama aku?”
Yanti tak menjawab. Ia malah seperti tak mendengar. Diam.
“Kenapa?”
Buset! Masih diam juga nih cewek.
“Bilang dong, kalau ada yang salah. Jangan suka ngambek-ngambekan. Kita kan bukan anak kecil lagi. Nah, katakan…. Kenapa?”
“Aku nggak suka ngomong sama pembohong,” katanya mulai membuka suara.
“Pembohong?”
“Ya….!”
“Jadi…..jadi kau menuduhku tukang bohong?”
“Lho!”
“Lho!Lho!? Nggak usah pura-pura deh. Aku sudah tahu siapa gadis yang dibawa papamu kemarin dulu”
“Itu kan sepupuku,” jawabku tenang
“Bukan! Kau tahu pasti itu. Dasar laki-laki punya sifat buaya!”
Astaga…..gawat nih! Kalau Dewi Jepang sudah meradang berkeluarlah tabungan kata-kata mutiaranya.
“Baiklah. Kalau memang itu bukan sepupuku, buat apa kita ributkan urusan orang lain?” sahutku kalem saja. Ini memang sudah sifatku. Sabar, tenang saja meski apapun yang terjadi.
“Aaaapa…..?!!! Orang lain? Itu papamu! Dan jelas bukan orang lain, tolol!!!”
Mati aku! Aku segede gini ditolol-tololin sama gadis seperti ini. Wah! Ini baru kejutan namanya.
“Iya…..ya…..Kamu memang betul, tapi kenapa kau memusuhiku?”
Dan akhirnya bola matanya yang bening dari gadis yang galak itupun berkaca-kaca.
“Habis……Aku takut.”
“Takut? Takut apa?” aku jadi tambah bingung saja.
“Takut kalau kamu juga nantinya jadi begitu”
Ooo…..rupanya itu yang membebani pikirannya selama ini. Manisku, kamu memang betul-betul gadisku yang polos dan hijau. Aku bangkit dan duduk ditepi kursinya. Lembut kupegang bahunya. Kutarik dalam pelukanku. Buku yang dipegangnya jatuh….dan dia tersendu dalam dekapanku.
“Dengarkan baik-baik sayang! Memang betul beliau adalah papaku. Tapi itu tidak berarti bahwa aku juga harus seperti beliau kan? Aku tetap akan mencintaimu sampai kapanpun, bahkan sampai akhir hayatku”
“Juga kalau aku nanti sudah jadi nenek-nenek?” tanyanya masih dalam tangis.
“Iya…..aku sayang kamu sehidup semati”
“Betul?”
“Ya, Yantiku. Sayangku padamu tetap abadi. Ia akan kubawa mati”
“Betulkah itu?”
“Betul.”
“Sumpah?”
“Ya, sumpah.”
Secerah senyum yang manis kembali terlukis diwajah itu. Kukecup bibir itu lembut. Awan mendung telah sirna terbawa angin yang lewat sore itu. Dewi Jepang yang ngambek itupun kembali menjelma jadi simungilku yang manis, manja dan lembut.
Yantiku! Kau harus tahu bahwa aku ini laki-laki. Aku tahu tanggung jawabku pada keluargaku cukup besar. Kini aku sedang berpikir, jalan mana yang paling baik kutempuh. Sudahlah, kamu tak perlu ikut-ikutan akan hal ini, juga jangan kau pikirkan. Biar aku sendiri yang memecahkannya. Nanti aku akan bicara baik-baik sama papaku di rumah. Nah aku pulang dulu….. besok kau kujemput.-
“Yanti……….”
“Oh?”
Ya ampun……. Itu tampang masih juga macam Dewi Jepang lagi ngambek.
“Aku mau ngomong sama kamu, boleh kan?”
“Hmmm…..”
“Kenapa sih, kamu koq beberapa hari ini jadi dingin, tak acuh sama aku?”
Yanti tak menjawab. Ia malah seperti tak mendengar. Diam.
“Kenapa?”
Buset! Masih diam juga nih cewek.
“Bilang dong, kalau ada yang salah. Jangan suka ngambek-ngambekan. Kita kan bukan anak kecil lagi. Nah, katakan…. Kenapa?”
“Aku nggak suka ngomong sama pembohong,” katanya mulai membuka suara.
“Pembohong?”
“Ya….!”
“Jadi…..jadi kau menuduhku tukang bohong?”
“Lho!”
“Lho!Lho!? Nggak usah pura-pura deh. Aku sudah tahu siapa gadis yang dibawa papamu kemarin dulu”
“Itu kan sepupuku,” jawabku tenang
“Bukan! Kau tahu pasti itu. Dasar laki-laki punya sifat buaya!”
Astaga…..gawat nih! Kalau Dewi Jepang sudah meradang berkeluarlah tabungan kata-kata mutiaranya.
“Baiklah. Kalau memang itu bukan sepupuku, buat apa kita ributkan urusan orang lain?” sahutku kalem saja. Ini memang sudah sifatku. Sabar, tenang saja meski apapun yang terjadi.
“Aaaapa…..?!!! Orang lain? Itu papamu! Dan jelas bukan orang lain, tolol!!!”
Mati aku! Aku segede gini ditolol-tololin sama gadis seperti ini. Wah! Ini baru kejutan namanya.
“Iya…..ya…..Kamu memang betul, tapi kenapa kau memusuhiku?”
Dan akhirnya bola matanya yang bening dari gadis yang galak itupun berkaca-kaca.
“Habis……Aku takut.”
“Takut? Takut apa?” aku jadi tambah bingung saja.
“Takut kalau kamu juga nantinya jadi begitu”
Ooo…..rupanya itu yang membebani pikirannya selama ini. Manisku, kamu memang betul-betul gadisku yang polos dan hijau. Aku bangkit dan duduk ditepi kursinya. Lembut kupegang bahunya. Kutarik dalam pelukanku. Buku yang dipegangnya jatuh….dan dia tersendu dalam dekapanku.
“Dengarkan baik-baik sayang! Memang betul beliau adalah papaku. Tapi itu tidak berarti bahwa aku juga harus seperti beliau kan? Aku tetap akan mencintaimu sampai kapanpun, bahkan sampai akhir hayatku”
“Juga kalau aku nanti sudah jadi nenek-nenek?” tanyanya masih dalam tangis.
“Iya…..aku sayang kamu sehidup semati”
“Betul?”
“Ya, Yantiku. Sayangku padamu tetap abadi. Ia akan kubawa mati”
“Betulkah itu?”
“Betul.”
“Sumpah?”
“Ya, sumpah.”
Secerah senyum yang manis kembali terlukis diwajah itu. Kukecup bibir itu lembut. Awan mendung telah sirna terbawa angin yang lewat sore itu. Dewi Jepang yang ngambek itupun kembali menjelma jadi simungilku yang manis, manja dan lembut.
Yantiku! Kau harus tahu bahwa aku ini laki-laki. Aku tahu tanggung jawabku pada keluargaku cukup besar. Kini aku sedang berpikir, jalan mana yang paling baik kutempuh. Sudahlah, kamu tak perlu ikut-ikutan akan hal ini, juga jangan kau pikirkan. Biar aku sendiri yang memecahkannya. Nanti aku akan bicara baik-baik sama papaku di rumah. Nah aku pulang dulu….. besok kau kujemput.-
Edy Nawir - 1979
(Cerpen ini kupersembahkan khusus buat kekasihku : Rahmayanti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar