TERUSLAH MENULIS SELAMA KITA MASIH BISA MENULIS

"TERUSLAH MENULIS SELAMA KITA MASIH BISA MENULIS"

Rabu, 21 September 2011

MONOPOLI TELEVISI SWASTA MELANGGAR UNDANG-UNDANG?


Industri televisi nasional saat ini cenderung mengarah kepada monopoli dan konglomerasi yang akan mengganggu hak publik terhadap konten penyiaran dan informasi. Namun hal itu sampai dengan hari ini masih dalam pembahasan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan belum menentukan sikap menanggapi atas rencana bergabungnya (merger) dua perusahaan televisi swasta SCTV dan Indosiar.
Dari Kemenkominfo masih belum ada satu surat apa pun yang kami terbitkan menyangkut rencana tersebut. Pihaknya masih terus membahas rencana tersebut karena penggabungan dua lembaga penyiaran tersebut.
Dalam UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi jelas disebutkan bahwa frekuensi tidak boleh dipindahtangankan. Jika pun harus terjadi maka harus memperoleh izin dari Menteri Komunikasi dan Informatika. Selain itu dalam UU Penyiaran, Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) juga tidak boleh dipindahtangankan.
Tetapi yang banyak terjadi sekarang sifatnya holding, izin masih tetap pemilik lama kemudian dua perusahaan itu melakukan holding. Hal itu merupakan salah satu upaya agar tidak terjadi benturan dengan dua UU tersebut. Terkait dengan pilihan pola penggabungan seperti merger, akuisisi, atau holding, memang masih belum ada pembicaraan lebih lanjut tentang pola yang akan dipilih.

Saat ini ada kecenderungan pemilik televisi swasta untuk menguasai beberapa stasiun televisi swasta di daerah. Monopoli kepemilikan televisi swasta melanggar prinsip-prinsip Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yaitu kepemilikan harus beragam, demikian juga dengan isi siaran.
Saat ini ada grup usaha yang menguasai tiga stasiun TV nasional dan 10 televisi lokal.
Karenanya MNC telah melanggar UU Penyiaran, karena memiliki tiga televisi swasta di dalam satu wilayah yang sama, yakni Jakarta. Karena dalam UU Penyiaran tertera bahwa satu grup media tidak boleh memiliki dua atau lebih stasiun televisi swasta di dalam satu area yang sama.
Menurut mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran DPR RI, Paulus, konglomerasi media dalam satu tangan pemodal atau monopoli kepemilikan televisi swasta akan mengancam demokratisasi dan pluralitas konten penyiaran yang berbasis kultur nusantara. Dia menyebut penguasaan SCTV atas Indosiar dan O`Channel di suatu daerah dan monopoli MNC terhadap puluhan TV lokal di seluruh daerah, meskipun formalnya adalah pengambilalihan saham namun subtansinya penguasaan monopoli frekuensi dan informasi. Harusnya setiap warga negara berhak mengelola frekuensi tetapi bukan hanya sekelompok orang. Dan frekuensi yang semestinya diatur oleh negara, telah jatuh ke satu tangan yakni satu perusahaan dengan kepemilikan mayoritas atas seluruh lembaga penyiaran di Indonesia.
PT Global Mediacom memiliki 70 persen MNC, MNC memiliki 99 persen Global, RCTI, TPI/MNC.
Kecenderungan konglomerasi media yang mengambil alih pemilik izin penyiaran TV lokal di berbagai daerah tersebut sangat disayangkan, karena sebenarnya TV lokal pada awal berdirinya membawa misi demokratisasi dan pluralisme serta kearifan lokal di seluruh nusantara.
Sekarang ini telah berbalik arah, TV lokal tetapi konten penyiaran tetap dari Jakarta, seperti Sun TV membeli hampir seluruh televisi lokal, tapi siarannya tersentral dari Jakarta.

Rencana akuisisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi (PT EMT) yang memiliki pula SCTV, dianggap telah melanggar Undang-Undang (UU) Penyiaran dan Peraturan Pemerintah (PP) No 50 Tahun 2005 yang mengatur satu holding hanya boleh memiliki satu frekuensi di satu provinsi.
Mestinya, kalaupun dari sudut UU Persaingan Usaha atau UU lainnya tidak ada potensi monopoli, maka akuisisi ini tetap tidak boleh dilanjutkan karena yang bergabung adalah dua perusahaan penyiaran di bawah satu atap bernama PT EMT. Kalau pun akuisisi ini terjadi, maka PT EMTK nantinya akan memiliki tiga frekuensi yakni Indosiar, SCTV, dan O Channel.
Dalam kasus akuisisi Indosiar oleh SCTV, jika merger keduanya sampai terjadi, maka akan menjadi legitimasi untuk kasus-kasus sebelumnya, sekaligus membuka jalan untuk merger berikutnya.
Akuisisi Indosiar oleh SCTV semakin sulit ketika melibatkan KPPU dan Bapepam.
KPI juga menolak akuisisi tersebut, namun demikian tetap harus ada putusan pengadilan yang bisa memperkuat keputusan KPI tersebut karena KPI tidak memiliki kewenangan untuk mencegah atau membatalkan proses akuisisi.
Akuisisi Indosiar oleh EMTK yang merupakan induk usaha PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) atau SCTV, berpotensi menimbulkan terjadinya pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, yang berimplikasi penguasaan opini, yang dilarang UU Penyiaran.
Ketua Komite Advokasi untuk Independen Penyiaran, Wirawan Adnan, berpendapat senada. Menurutnya, rencana akuisisi itu melanggar UU Penyiaran, antara lain Pasal 34 yang melarang pemindahtanganan frekuensi.

Tetapi sebenarnya akuisisi Indosiar oleh SCTV itu justru bisa meningkatkan kualitas isi siaran televisi yang saat ini kurang baik akibat kompetisi yang kurang sehat karena terlalu banyaknya stasiun televisi komersial. Melihat daya ekonomi Indonesia, seharusnya jumlah stasiun televisi komersial tidak lebih dari tiga buah. Di negara maju seperti Amerika Serikat saja jumlah stasiun televisi komersial tidak sebanyak di Indonesia.
Di Jakarta ada 13 stasiun televisi. Sebagian besar menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Akusisi Indosiar oleh SCTV tidak dapat langsung dicap sebagai monopoli, namun juga harus dilihat apakah kegiatan itu sesuai demokrasi penyiaran, keanekaragaman penyiaran, dan pertumbuhan industri penyiaran yang sehat, serta ketersediaan dukungan ekonomi.
Para pakar komunikasi Universitas Indonesia, Effendi Ghazali dan tokoh pers Indonesia, Sabam Leo Batubara menilai tentang rencana merger antara dua stasiun televisi swasta Indonesia, SCTV dan Indosiar, tidak melanggar aturan dan justru akan menyehatkan dunia penyiaran Indonesia.
Pembelian saham Indosiar oleh SCTV tidak melanggar undang-undang. Dalam PP No 50 tahun 2005 pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa badan penyiaran yang memiliki dua izin penyiaran harus berlokasi di dua provinsi berbeda. Selain pembelian saham hanya dibatasi hingga 49 persen. Sementara itu SCTV membeli tidak lebih dari 50 persen saham Indosiar.
Izin penyiaran SCTV diperoleh dari Provinsi Jawa Timur, berbeda dengan Indosiar. Dan merger ini bukan yang pertama kali sehingga perlu memperhatikan merger antara televisi swasta yang sebelumnya terjadi di Indonesia. MNC Group menguasai RCTI, MNC TV (TPI), dan Global TV. Ada pula Trans Corp yang menaungi Tran TV dan Trans 7 (TV7). Selain itu juga Grup Viva yang membawahi ANTV dan TV One.

Merger televisi swasta sebenarnya akan membawa manfaat bagi dunia penyiaran nasional. Stasiun TV yang melakukan merger justru menjadi semakin kompetitif dan telah menyehatkan dunia penyiaran nasional. Dan yang terpenting adalah tetap memelihara prinsip demokratisasi penyiaran yakni keanekaragaman kepemilikan dan konten.

Hari ini (Sabtu, 16 April 2011) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah menyatakan tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menghalangi rencana bergabungnya dua lembaga penyiaran swasta SCTV dan Indosiar.
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo Gatot S. Dewa Broto , sejak awal memang tidak ada alasan bagi Kemenkominfo untuk menghalangi rencana merger tersebut. Kedua stasiun televisi swasta itu sudah sah bergabung sepanjang tidak menyalahi ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Sementara itu Kemenkominfo sendiri menyatakan bahwa sampai saat ini masih belum menerbitkan ketentuan apa pun menyangkut rencana tersebut.
Rencana penggabungan itu masih dalam pembahasan dengan pihak-pihak terkait karena merger dua lembaga penyiaran itu bukan ranah Kemenkominfo, ada Bapepam-LK dan ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Secara UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi memang merger tersebut tidak melanggar, tetapi dikaitkan dengan UU lainnya seperti UU Pasar Modal dsb. masih perlu dikaji kembali.
Kemenkominfo terkesan sangat hati-hati dalam menyikapi persoalan tersebut.

*(Sumber dari berbagai media)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar